WWW.POLICELINE.ID
Sumenep

Kisruh Rokok Ilegal, Ketua LSM Petir: Dilema Cukai dan Nasib Petani Tembakau

Avatar photo
197
×

Kisruh Rokok Ilegal, Ketua LSM Petir: Dilema Cukai dan Nasib Petani Tembakau

Sebarkan artikel ini

News Editor: Ferry Arbania

Sumenep, 24 Juli 2025 – Isu rokok ilegal di Indonesia senantiasa menjadi persoalan pelik yang menghadapkan pemerintah pada dilema kompleks. Di satu sisi, langkah pemberantasan gencar dilakukan demi mengamankan penerimaan negara dari sektor cukai. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan besar tentang bagaimana tindakan ini berdampak pada roda perekonomian masyarakat akar rumput, khususnya para petani tembakau dan pekerja pabrik rokok skala kecil.

Menurut Abdullah Arif, Ketua LSM PETIR (Peduli Tuntutan Nurani Rakyat), situasi ini sangat “dilematis” dan membutuhkan penanganan arif. “Jangan karena berpikir tentang kerugian negara di sektor pajak, lantas membinasakan perekonomian masyarakat,” ujarnya kepada Maduraexpose.com, media jaring Policeline.id, Kamis.

Narasi kerugian negara akibat rokok ilegal memang selalu menjadi sorotan utama. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menunjukkan, hingga Juni 2025, penindakan terhadap barang ilegal mencapai Rp3,9 triliun, dengan rokok ilegal mendominasi 61% dari total penindakan. Angka ini seringkali dijadikan basis klaim kerugian negara dari sisi cukai yang bisa mencapai triliunan rupiah.

Namun, Arif menyoroti perspektif lain. “Betapa rakyat dengan susah payah dan taat memenuhi kewajiban pajaknya, setelah terkumpul ‘menguap entah kemana’, ini bukan rahasia lagi. Sejauh yang saya paham, klaim kerugian negara itu baru asumsi. Di sisi lain, dengan tindakan merampas sejumlah rokok yang katanya ilegal, sudah pasti masyarakat rugi,” tandasnya. Ini menciptakan kausalitas mendalam yang butuh perhatian bersama.

Arif juga mengingatkan sejarah kelam yang menimpa petani tembakau. “Dulu tiga tahun yang lalu para petani tembakau menjerit, karena ketentuan harga tembakau ditentukan oleh pabrikan tanpa ada pertimbangan kerugian petani, sementara pemerintah enggan hadir untuk memberi solusi. Pabrikan diuntungkan,” kenangnya. Kini, ketika petani mulai bangkit, pemerintah berteriak tentang kerugian ekonomi negara, dan pabrikan pun mengeluhkan penurunan omzet. “Dulu petani tembakau teriak tak ada yang peduli. Fenomena sekarang ini mungkinkah dapat dikatakan ‘Doa orang madzlum telah terkabul’?” cetusnya.

Kebingungan sering muncul soal predikat rokok “legal” dan “ilegal”, khususnya untuk produk pabrikan lokal. Rokok lokal umumnya diproduksi oleh pabrik berizin resmi, menggunakan bahan baku persis sama dengan pabrik besar. Perbedaan krusialnya terletak pada pembayaran bea cukai. “Saya masih gamang dengan predikat rokok legal dan ilegal… bedanya hanya tidak bayar bea cukai,” pungkas Arif.

Ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: apakah label “ilegal” semata-mata karena tidak membayar cukai, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas? Di satu sisi, cukai adalah kewajiban dan sumber pendapatan negara. Namun di sisi lain, penindakan yang terlalu agresif bisa membinasakan mata pencarian ribuan pekerja di pabrik rokok kecil dan petani tembakau yang memasok bahan baku.

Dilema ini menuntut penanganan yang arif dan bijaksana dari pemerintah. Penting untuk mencari titik temu antara upaya pengoptimalan penerimaan negara dari cukai dengan perlindungan terhadap perekonomian masyarakat. Beberapa pendekatan komprehensif yang bisa dipertimbangkan tidak hanya berfokus pada sisi represif, namun juga meliputi edukasi masif tentang pentingnya cukai, insentif atau skema cukai yang lebih fleksibel bagi pabrik rokok kecil agar mereka bisa memenuhi kewajiban tanpa gulung tikar, serta perlindungan bagi petani tembakau agar mendapatkan harga layak dan tidak lagi menjadi korban monopoli harga.

Fenomena rokok ilegal adalah cerminan dari kompleksitas ekonomi dan sosial yang harus diurai dengan hati-hati. Alih-alih hanya berfokus pada angka kerugian negara, perhatian pada kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada industri ini, serta tata kelola yang transparan dan adil, akan menjadi kunci untuk menemukan solusi berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua pihak.[*]

---Police News---
----

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

_________________________________