Ketua DPR Puan Maharani menanggapi adanya isu yang menyebut lembaganya akan kembali Undang-undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Bahkan, ia menyebut pimpinan DPR lain dari lintas fraksi tak pernah mendengar isu tersebut.
Diketahui, terdapat isu yang menyebut DPR akan kembali merevisi UU MD3. Revisi tersebut bertujuan merebut posisi ketua DPR yang saat ini diperebutkan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar.
“Pak Dasco malah bilang nggak denger (ada isu revisi UU MD3), kita kompak dan kita menghargai bahwa UU MD3 itu tetap harus menjadi satu undang-undang yang memang harus dihargai, dilaksanakan, dan dihargai di proses yang ada di DPR,” ujar Puan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Dalam UU MD3 teranyar, pemenang pemilihan legislatif (Pileg) yang memiliki hak menduduki kursi ketua DPR. Dalam hal ini adalah Fraksi PDIP yang berhasil memenangkan kontestasi pada 2019 dan 2024.
“Pemenang pemilu yang nantinya akan, pemenang pemilu legislatif ya, yang seharusnya kemudian nanti berhak untuk menjadi ketua DPR, itu yang bisa saya sampaikan,” ujar Puan.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan partainya berhasil memenangkan pemilihan legislatif untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Mereka optimistis dapat meraih 110 kursi di DPR.
Angka tersebut juga diyakininya membuat PDIP mendapatkan posisi Ketua DPR. Ia pun mengingatkan Partai Golkar untuk tak lagi mengusulkan revisi UU MD3.
Ia kembali mengungkit pemilihan umum (Pemilu) 2014, ketika PDIP berhasil memenangkannya dan meraih suara terbanyak. Namun, Partai Golkar dan rekan koalisinya justru menggulirkan revisi UU MD3 untuk mengubah formasi pimpinan DPR.
Hasilnya sebelum revisi UU MD3 terbaru, PDIP tak bisa menjabat posisi Ketua DPR meskipun meraih suara dan kursi terbanyak. Namun, ia pun menyindir pimpinan DPR dari Partai Golkar yang justru terjerat kasus korupsi.
“Nah teman yang dari Golkar itu harus belajar dari 2014. Karena seharusnya di dalam norma politik yang kita pegang tidak bisa undang-undang itu diubah yang terkait pemilu dan hasil pemilu setelah pemilu berlangsung,” ujar Hasto.