Jakarta- Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi, mengatakan kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lolos melewati ambang batas masuk ke parlemen tingkat pusat karena partai tersebut telah kehilangan jati diri sebagai partai Islam tradisional. Sekarang menurut Asrinaldi, PPP sudah lagi memiliki tokoh atau ulama besar yang menjadi simbol perjuangan partai.
“Dulu PPP itu punya ulama-ulama daerah yang kemudian menjadi tokoh nasional dan memimpin PPP. Sekarang tidak ada lagi,” kata Asrinaldi, Sabtu (23/3/2024).
Sedikitnya ulama besar yang dulu ikut membesarkan PPP adalah KH Idham Chalid yang meninggal tahun 2010 lalu. Kemudian ada KH Maimun Zubair yang meninggal pada tahun 2019 lalu. Sejak ditinggalkan ulama yang menjadi tokoh sentral, PPP menurut Asrinaldi didominasi kader-kader yang hanya menjadikan politik untuk kepentingan praktis dan duniawi.
Padahal kata dia PPP besar karena menjadi representasi suara dan perjuangan umat Islam. Sekarang peran PPP sebagai partai Islam tradisional sepenuhnya dikalahkan oleh PKB. Sedangkan basis basa Islam modernis lebih condong ke PKS.
Asrinaldi menyarankan momentum kegagalan PPP lolos ke Senayan untuk pertama kalinya menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pengurus partai berlambang Ka’bah tersebut. Karena sebelum kegagalan di 2024 ini, PPP juga selalu meraup suara relatif kecil.
Selain faktor kehilangan jati diri sebagai partai Islam tradisional, kegagalan PPP menurut Asrinaldi juga disebabkan pilihan kubu di Pilpres. Sehingga PPP tidak kebagian efek ekor jas dari pasangan capres-cawapres, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Diketahui pasangan yang didukung PPP tidak berhasil memenangkan Pilpres di satu pun provinsi di Indonesia alias kalah telak.
“Cocktail effect itu sangat berpengaruh ternyata. Bahwa PPP dan PDIP suaranya turun karena capres nya tak mendapatkan kemenangan satupun di daerah. Itu berdampak pada pilihan masyarakat kepada PPP,” ucap Asrinaldi.