POLICELINE.ID– Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Sudarnoto Abdul Hakim didaulat untuk menyampaikan orasi kemanusiaan bertajuk “Islamofobia, Duri Peradaban Dunia” yang diselenggarakan di Aula AR Fachrudin Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA, Jakarta.
Dalam kegiatan yang berlangsung Kamis (18/1/2024) itu, Prof Sudarnoto menyoroti pentingnya memahami dan mengatasi Islamofobia sebagai krisis global yang serius.
“Islamofobia adalah sikap negatif, prasangka, dan diskriminasi terhadap Islam dan umat Islam,” ujar Prof Sudarnoto pada Kamis, (18/1/24).
Prof Sudarnoto menggambarkan fenomena ini berdampak sangat luas. “Islamofobia bukan hanya tindakan individual yang berdampak terbatas, melainkan juga keputusan politik yang berdampak luas, termasuk pada hubungan diplomatik dan antarumat beragama,” katanya sebagaimana diberitakan laman resmi MUI, Jumat (18/1/2024).
Mengutip laporan tim Litbang MPI dan MNC Portal, Prof Sudarnoto menyebutkan beberapa kasus pelecehan terhadap Alquran, seperti pembakaran Alquran di Stockholm, Swedia.
“Dua kali pembakaran Alquran di Swedia telah mendapatkan reaksi keras dari Menteri Luar Negeri Indonesia dan MUI,” ujar dia.
Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, menegaskan bagaimanapun penistaan yang dilakukan oleh siapapun, dari negara manapun dengan latar belakang apapun tak bisa dibenarkan. “Menginjak-injak Alquran adalah musuh peradaban,” ujar dia.
Dalam konteks kasus Swedia, Prof Sudarnoto juga menyebut dampak jika pemerintah Swedia berdiam diri. “Jika Pemerintah Swedia membiarkan tindakan ini, maka akan terjadi eskalasi kekerasan atas nama agama,” sambungnya.
Lebih lanjut, Prof Sudarnoto mengungkapkan bahwa Islamofobia tidak hanya terbatas pada pelecehan simbol agama, tapi juga perundungan terhadap umat Islam di berbagai wilayah dunia.
“Islamofobia di Amerika naik lebih dari 200 persen dari tahun sebelumnya,” ungkap Sudarnoto, menyoroti dampak psikologis dan mental yang dialami oleh pelajar Muslim.
Dia membeberkan sebagai contoh, survei terkait diskriminasi dan perundungan pelajar Muslim di Kalifornia mengungkapkan angka yang mengkhawatirkan. Menurut data, 46 persen siswa Muslim mengalami perundungan karena identitas mereka, 47 persen merasa tidak aman di sekolah, dan 32 persen siswi berhijab mengalami pelecehan fisik.
“Ini merupakan gambaran nyata dari eskalasi ketakutan dan prasangka yang mengganggu kesejahteraan dan keamanan mental pelajar Islam,” ungkapnya.
Bahkan, Prof Sudarnoto berkesimpulan Islamofobia ekstrem bisa pada level genosida sebuah entitas Muslim di suatu wilayah. Menyinggung laporan Genocide Watch Puncak dari Islamofobia ekstrem adalah genosida.
Dia menyebutkan di negara-negara seperti China, Myanmar, dan India, Islam dianggap agama asing, dan ini membawa dampak diskriminatif yang parah terhadap umat Islam.
Prof Sudarnoto juga menegaskan dampak jika Islam dianggap agama asing. Semakin kuat keyakinan Islam sebagai agama asing, semakin kecil pengakuan terhadap muslim sebagai warga negara dan bahkan sebagai manusia.
Atas beberapa fakta inilah, Prof Sudarnoto memandang perlunya upaya bersama dalam menghadapi serta mengeliminasi fenomena ini.
“Islamofobia adalah serangan terhadap eksistensi dan kedaulatan manusia yang seharusnya dihormati dan dilindungi oleh semua orang, hukum, dan negara,” ucap Sudarnoto.
Langkah nyata MUI
“Ke depannya, MUI berharap draft naskah akademik yang tengah disusun dapat menjadi langkah awal dalam perjuangan melawan Islamofobia di tingkat nasional maupun internasional,” tutupnya.
Orasi Prof Sudarnoto tidak hanya membuka mata tentang keparahan Islamofobia, tetapi juga menyerukan aksi kolektif dan kebijakan yang lebih inklusif untuk mengatasi masalah ini.
Sebuah peringatan bahwa krisis ini memerlukan solusi yang bersifat global, mengingat dampaknya yang melintasi batas-batas negara dan kultur. (MUID/VO-I)